Harun terdiam. Kalimat itu bukan yang pertama ia dengar. Kak Wati sudah pernah menyampaikan. Tapi, apa kata bapaknya apabila ia melalukan keinginan itu? Bapak pasti menanggung malu.
Sejak dulu, ia tak pernah menjadi kebanggaan orangtua satu-satunya itu. Bapak ingin ia jadi tentara. Mengikuti jejak keluarga. Namun, tinggi badannya tidak memenuhi syarat.
Dahulu, ia pernah mengabaikan dan nekad mengirim lamaran. Ia dipanggil untuk tes lebih lanjut. Tentu saja, pelaksana tes menyadari kebohongannya. Harun menjadi bulan-bulanan dan tertawaan para tentara dan semua peserta.
Di tengah ingatannya akan masa lalu, sayup-sayup Harun mendengar Budi berkata, “Kalau lo ingin punya salon, lakukan!”
Pastilah ia ingin. Tapi, memenuhi keinginannya bukanlah tujuan hidup Harun. Membuat keluarganya bangga dan bahagia akan keberadaan dirinya, itulah yang utama.
Harun berprinsip lebih baik batinnya tersiksa daripada ia menyaksikan gurat kesedihan di wajah Bapak.
Harun mendesah. Celotehan Budi sudah berkembang tak tentu arah. Sekarang, teman SMA-nya itu bersikap jumawa dengan menceritakan kehebatan kota Jakarta.
Barulah ia mengerti bahwa ada benarnya pendapat Kak Wati: Budi menganggap Bandarasa adalah kuman yang menggerogoti kebahagiaan dalam hidup.
Apakah hanya di kota metropolitan, orang-orang bisa bahagia? Kalau memang demikian adanya, tertarik pula niat Harun untuk menjajaki Jakarta.
Oleh sebab itu, pertanyaan berikut pun meluncur dari mulutnya, “Di Jakarta, apakah kau bahagia, Bud?”
***
Sampai saat ini, Harun tak pernah mendapat jawaban dari Budi. Di hari ia mengajukan pertanyaan itu untuk pertama kalinya, pria itu justru menggiringnya ke Karang Kopong.
Suasana hati Budi yang meradang setelah tak memperoleh sinyal pada telepon genggamnya menyurutkan maksud Harun untuk bertukar pikiran seputar keberadaan Husein.
Setelah berulang kali diingatkan oleh ayahnya, ini kali Harun tidak boleh menunda lagi. Oleh sebab itu, pagi-pagi sekali ia sudah berkunjung ke rumah teman lamanya itu. Surat Husein tersimpan rapi di saku celananya.
Di halaman, ia melihat sepeda Budi teronggok begitu saja. Seketika, ia menyimpan ingatan untuk membetulkan sepeda itu dengan menambahkan remnya. Lalu, ia menyerukan nama Budi.
Artikel Terkait
Novel Rizky Siregar: Suaka Nostalgia Bagian 1
Novel Rizky Siregar: Suaka Nostalgia Bagian 2
Novel Rizky Siregar: Suaka Nostalgia Bagian 3
Novel Rizky Siregar: Suaka Nostalgia Bagian 4
Novel Rizky Siregar: Suaka Nostalgia Bagian 5
Novel Rizky Siregar: Suaka Nostalgia Bagian 6
Novel Rizky Siregar: Suaka Nostalgia Bagian 7
Novel Rizky Siregar: Suaka Nostalgia Bagian 8
Novel Rizky Siregar: Suaka Nostalgia Bagian 9
Novel Rizky Siregar: Suaka Nostalgia Bagian 10